close

Merajut Kisah Pengabdian di Timur Nusantara

Suara desiran ombak di pantai pulau Soop kembali masuk ke relung ingatan saya. Kemudian membuka lagi kotak memori berisi banyak kenangan indah selama pengabdian di program Kampus Mengajar. Nama saya Nicodemus Lolonlun, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sorong serta alumni program Kampus Mengajar angkatan 2, dan ini adalah cerita pengabdian saya.

Saya bergabung dengan program Kampus Mengajar sebagai sebuah panggilan, tentunya sebagai mahasiswa selalu ada niatan bagi saya untuk bisa berkontribusi sebagai agen perubahan, khususnya di bidang pendidikan karena saya berasal dari program studi kependidikan. Menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi saya ketika terpilih sebagai satu dari belasan ribu mahasiswa yang ditugaskan pada program Kampus Mengajar angkatan 2.

Saya ditugaskan di SD YPK Efata Soop, Kota Sorong Papua Barat. Awalnya saya kira lokasi sekolah ini tidak terlalu jaug dari domisili asal saya di Kota Sorong. Namun, betapa terkejutnya saya ketika berangkat dan mengetahui bahwa sekolah penugasan saya ternyata ada di pulau lain dan berada di distrik Sorong Kepulauan.

Saya dan teman-teman harus menyeberang dengan akses laut yang jalurnya tidak setiap hari dijangkau dari pelabuhan Sorong ke pulau Soop. Selain itu, biaya transportasi juga cukup mahal di mana kami harus membayar Rp 200.000 untuk ongkos satu kali perjalanan dengan menempuh waktu sekitar 20-30 menit perjalanan.

Dengan berbagai pertimbangan, terutama karena kami mahasiswa yang belum berpenghasilan, kami akhirnya memutuskan untuk bermukim di pulau Soop selama penugasan kami di Kampus Mengajar angkatan 2 berlangsung. Kebetulan kelompok kami berjumlah lima orang dan saya adalah laki-laki satu-satunya di kelompok. Penugasan di daerah dan lingkungan baru juga menjadi tantangan bagi saya untuk bisa memimpin kelompok dan menjaga teman kelompok saya.

Baca Juga :  KKN ITS Dorong Geliat Bisnis Kopi, Rancang Mesin Sangrai Berbasis IOT

Selanjutnya, penugasan kami dimulai dengan melakukan observasi awal tentang sekolah penugasan. Betapa terkejutnya kami ketika menemukan bahwa sebagian besar murid di sekolah masih belum bisa membaca, menulis, dan menghitung. Bahkan diantaranya masih ada yang belum mengenal huruf. Kondisi ini tentu membuat kami sedikit ragu pada awalnya dan bertanya, apakah kami sanggup memberikan dampak dengan kemampuan yang kami miliki?

Kami juga mendapatkan cerita dari anak-anak bahwa mereka bukannya tidak mau belajar, tapi ada beberapa tuntutan seperti harus membantu orang tua mencari nafkah hingga jumlah tenaga pendidik yang kurang serta keterbatasan pembelajaran akibat pandemi. Hal tersebut juga diamini oleh guru-guru di sekolah.

Kelompok kami kemudian berdiskusi dan merumuskan beberapa program yang meliputi peningkatan literasi dan numerasi dengan membuat kelas tambahan khusus, mendatangi rumah siswa dan belajar bersama mereka di sana, pengenalan teknologi, dan juga membaca hening untuk membangun kemampuan analisa adik-adik murid.

Kami juga membantu para guru dan tenaga kependidikan dengan melaksanakan asistensi administrasi, membangun perpustakaan, dan juga mengenalkan pengajaran berbasis teknologi agar nantinya bisa diterapkan secara berkelanjutan.

Bukan tugas yang mudah memang, tapi senyum hangat semua murid yang menyambut kami setiap pagi menjadi motor penggerak bagi kami untuk berusaha dengan maksimal membantu pembelajaran di sekolah. Dalam beberapa kesempatan, kami bahkan diajak mengunjungi pantai dan belajar sambil bermain bersama mereka di sana. Semua kehangatan ini membuat kami merasa betah tinggal di lingkungan baru yang jauh dari rumah kami.

Baca Juga :  The Global Melting Pot: Keseharian Awardee IISMA di Asia

Waktu cepat berlalu jika kita menikmati setiap momennya, mungkin hal ini juga saya rasakan ketika bertugas di Kampus Mengajar dan tiba waktunya bagi kami untuk kembali ke perguruan tinggi. Ada banyak tangis haru baik dari kami, guru, murid, hingga orang tua murid yang mengantar kepergian kami kembali. Tentu ada banyak hal yang belum bisa kami berikan, tapi membuat tiga orang yang sebelumnya buta huruf kemudian bisa membaca menjadi prestasi terbesar kami yang akan kami kenang sepanjang hayat.

Dari program Kampus Mengajar, saya banyak mendapatkan pelajaran berharga. Tanpa program ini saya tidak akan pernah punya kesempatan untuk melihat langsung banyaknya kekurangan, ketertinggalan dari dunia pendidikan yang ada di daerah saya. Bagi saya dengan mengikuti program Kampus Mengajar ini tentu sangat berdampak luar biasa bagi pribadi saya, yaitu: dapat melatih jiwa leadership, memiliki kepribadian yang kuat dan mampu mengatasi berbagai problematika yang terjadi di sekolah, mampu mengetahui berbagai macam gaya belajar siswa/I, serta dapat berkolaborasi dengan guru-guru.

Cerita penugasan Nicodemus, merupakan implementasi nyata dari tantangan yang diberikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, Nadiem Anwar Makarim mengenai tugas berat yang diemban oleh semua peserta program Kampus Mengajar.

“Melalui program Kampus Mengajar, saya mencari pemuda-pemudi yang tidak hanya berprestasi, tapi juga ada keinginan berkontribusi. Tidak hanya yang ingin berkembang, tetapi juga yang punya daya juang. Tidak hanya yang mampu, tetapi juga mau. Melalui program ini kalian akan mengasah kepemimpinan, kematangan emosional, dan kepekaan sosial yang akan terus melekat kepada diri kalian sebagai cendekiawan dan calon pemimpin masa depan,” pesan Nadiem.